welcome to my blog

Welcom To My Blog

2/06/2011

"Kita Terkepung Makanan Haram"


"Kita Terkepung Makanan Haram"


Barang haram ada dimana-mana. Tidak ada pengawasan yang ketat. Label halal perlu, tetapi yang lebih perlu adalah 'label haram'
Yang haram kan babi," begitu kata seorang pemilik restoran terkenal di Jakarta. "Nggak ada bayangan-bayangan bahwa hal lain pun bisa dikatagorikan haram, selain babi. Tidak heran, restoran tersebut sampai saat ini masih memakai ang chiu.
Ini kan bukan babi, jadi halal, begitu logikanya. Padahal Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) jelas-jelas mengkatagorikan zat sejenis arak itu sebagai barang haram. "Di dalamnya mengandung khamr. Makanan yang sengaja menggunakan bahan itu tidak halal," ujar Aisyah Girindra, Direktur LPPOM MUI.

Menurut penelitian Nurwahid, seorang ahli Teknologi Pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), ang chiu mengandung unsur alkohol hasil fermentasi. "Kadarnya sebanyak 15%," ujarnya.
Sayangnya, kaum Muslimin tidak banyak yang tahu, atau bahkan tidak mau tahu dengan hal-hal semacam itu. Apalagi pihak restoran atau rumah makan memang tidak berusaha memberitahu konsumen. Malah banyak yang tidak paham bahwa ang chiu itu tergolong haram.

Akibatnya, kaum Muslimin tenang-tenang saja. Di restoran yang terkenal itu, banyak pengunjungnya adalah kaum wanita yang berjilbab. Barangkali mereka terkecoh dengan tulisan "100% Halal" yang sengaja dipasang besar-besar oleh pihak restoran. Hanya beberapa gelintir konsumen yang bisa bersikap seperti Oni, yang punya daya kritis untuk menanyakan halal tidaknya makanan yang hendak dikonsumsi. Dan begitu tahu bahwa makanan di situ haram, "Kapok saya."

Di Berbagai Daerah Berdasar pengamatan Hidayatullah, ang chiu banyak digunakan oleh restoran-restoran terkenal. Terutama restoran yang masuk katagori Chinese food, sea food, dan Japanese food. Bahkan beberapa restoran yang menyajikan masakan khas Jawa Barat pun tak luput menggunakan benda haram itu.
Tidak cuma di Jadebotabek. Hal serupa bisa dijumpai pula di daerah lain, seperti Yogyakarta. Nanung Danar Dono, bendahara LPPOM MUI Yogyakarta punya cerita tersendiri tentang hal ini.
Tidak cuma sekali LPPOM MUI Yogyakarta mendapat pengaduan dari seorang konsumen, yang merasa tertipu makanan yang seolah halal tetapi ternyata haram. Salah satunya mengaku pernah mengadakan acara keluarga di sebuah rumah makan yang terang-terangan memasang tulisan 'Seluruh produk yang dijual dijamin halal'.
Salah seorang anggota keluarga coba menanyakan, apakah di sini juga menyediakan babi? Jawabnya sungguh mengejutkan, "Ada."

"Kontan saja acara keluarga itupun dibatalkan," kisah Nanung yang juga Dosen Fakultas Peternakan UGM itu.
Nanung juga pernah melakukan audit terhadap beberapa rumah makan di daerah wisata Cangkringan Kaliurang. Ternyata salah satu bahan racikan yang tidak pernah ketinggalan adalah ang chiu.
Jangan dibayangkan bahwa ang chiu cuma beredar di restoran terkenal atau rumah makan besar. Nasi goreng pinggir jalan pun kebanyakan menggunakannya. Ini misalnya bisa dijumpai di kawasan Tangerang (Jabar). Ade Kurniawan, seorang penggemar nasi goreng, terkaget-kaget dibuatnya, karena ternyata selama ini dia sering mengkonsumsi makanan itu.

Label Haram

Beberapa konsumen mengaku bingung ketika tahu bahwa makanan yang
dikonsumsinya ternyata mengandung bahan haram. Tidak tahu harus berbuat apa, atau mengadu kepada siapa.
Pemerintah yang mestinya bertindak sebagai pengawas juga tidak
menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. "Pemerintah belum serius mengawasi restoran atau perusahaan yang menggunakan bahan haram. Padahal peredaran makanan haram dan minuman keras banyak terjadi di restoran-restoran," ujar Aisyah.
Hal senada dikatakan oleh Zaim Saidi, Direktur Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC). Di negeri ini tidak jelas, siapa yang seharusnya mengawasi barang halal atau haram yang beredar di pasaran.

Sebetulnya Departemen Kesehatan pernah punya keputusan setingkat menteri yang menyatakan bahwa makanan yang mengandung babi itu harus diberi label bergambar kepala babi warnah merah. "Peraturan itu sudah ada sejak tahun 1976 namun tidak diterapkan dengan baik," katanya.

Ini berbeda dengan negara tetangga Malaysia misalnya. Menurut penuturan Donant D Iskandar, seorang dosen yang lama tinggal di Malaysia, proteksi terhadap konsumen Muslim sangat ketat. "Restoran diawasi secara ketat.
Daftar makanan disosialisasikan dengan gencar di media massa cetak maupun elektronik. Konsumen Muslim merasa nyaman di sana," katanya.

Beberapa saat lalu PIRAC pernah mengadakan survei. Di pasaran ternyata banyak ditemukan barang haram tetapi tidak diberitahukan kepada konsumen. Terutama barang-barang impor seperti makanan kaleng yang mengandung daging babi atau minyak babi. Kadang ada labelnya, tetapi terlalu kecil sehingga tidak semua orang tahu. "Mereka yang menjual barang haram dan tidak memberitahu konsumen, semestinya diberi sanksi,"
kata Zaim lagi.

Namun Zaim justru tidak mau ribut dengan urusan label halal. Yang lebih penting menurutnya adalah pencantuman 'label haram'. "Makanan halal itu tidak ada masalah. Jumlahnya pun pasti jauh lebih banyak daripada yang haram. Karena itu yang bermasalah adalah barang yang haram, ini yang harus diatur."
Zaim menilai, selama ini logika masyarakat keliru karena cuma meributkan makanan yang halal. Semestinya, pencantuman 'label haram' yang diperlukan. Dengan begitu, kaum Muslimin otomatis tak akan mengkonsumsinya. Ini jauh lebih mudah daripada mendeteksi mana makanan yang halal, padahal ketika diteliti ternyata haram.

Nah, kalau ada produsen yang tidak mencantumkan label haram, padahal di dalamnya jelas-jelas terkandung barang haram, itulah yang harus dikenai sanksi tegas. Masalahnya, siapa yang berwenang memberi sanksi? Serba susah memang.* (Jumari, Khoironi, M Ichsan Kamil, Masjidi, Ahmad Damanik/Hidayatullah)
Edisi 12/XVI 2004 - Laporan Khusus
"Ang Chiu itu Haram".

 Wawancara dengan Prof DR Aisyah Girindra, Direktur LPPOM MUI
Ada sebagian masyarakat, termasuk pengusaha restoran, yang menganggap bahwa yang haram itu cuma babi, selain itu pasti halal. Tanggapan Anda?
Memang tidak hanya (babi) itu. Banyak yang lain, seperti alkohol, tulang babi, kulit babi, lemak babi. Karena dari tulang babi itu bisa jadi gelatin, pelembut makanan untuk es krim. Juga yang terpenting adalah prosesnya. Daging sapi pun bisa menjadi haram jika proses memotong tidak sesuai syariat.

Bagaimana dengan makanan yang menggunakan ang chiu?
Ang chiu itu haram. Di dalamnya mengandung khamr. Makanan yang sengaja menggunakan bahan itu tidak halal.
Nyatanya, banyak masyarakat yang menggunakan. Apakah tidak ada pengawasan?
Pengawasan itu seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Tapi ternyata pemerintah belum juga serius mengawasi restoran atau perusahaan yang menggunakan bahan haram. Padahal peredaran makanan haram dan minuman keras banyak terjadi di restoran-restoran.
Bagaimana proses sertifikasi yang dilakukan LPPOM MUIØ
Jika ada restoran atau perusahaan yang ingin dapat sertifikat halal, tinggal datang ke LPPOM untuk meminta formulir. Setelah mengisi formulir tersebut dan dikembalikan, tim dari LPPOM akan memeriksa langsung ke restoran atau perusahaan tersebut
memastikan kebenaran antara yang ada di lapangan dengan bahan yang diisi dalam formulir. Setelah itu, hasil-hasil pemeriksaan akan dirapatkan oleh tenaga-tenaga ahli. Jika sudah layak, maka akan diteruskan ke Komisi Fatwa MUI untuk difatwakan
halal dan dibuatkan sertifikat.

Bagaimana jika ternyata meragukan?
Jika hasil pemeriksaan itu meragukan, maka LPPOM akan mengembalikan
kembali kepada restoran atau perusahaan yang bersangkutan untuk
diperbaiki jika ada bahan-bahan yang terkandung unsur haram.

Bagaimana proses pelabelan halal?
Untuk label halal dikeluarkan oleh Badan POM. Bagi restoran atau
perusahaan yang sudah mendapatkan sertifikat halal dari LPPOM bisa langsung mendapatkan label halal dari Badan POM.
Bagaimana proses sertifikasi bagi restoran waralaba?
Tergantung kepada restoran itu. Bila restoran itu meminta setiap cabang disertifikasi, juga bisa. Atau cukup satu sertifikat saja untuk seluruh.
Tapi, sewaktu-waktu kami bisa melakukan pemeriksaan di cabang-cabang restoran tersebut.* (Ahmad Damanik/Hidayatullah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar