welcome to my blog

Welcom To My Blog

2/06/2011

Obat adalah Racun?


Obat adalah Racun?


Jadi obat, air, makanan, udara (oksigen) adalah racun? Benar sekali, tapi dengar dulu kelanjutannya. Paracelsus mengatakan bahwa yang membuat suatu zat itu racun atau tidak adalah dosis dan cara masuk ke tubuh kita.
 
Ada beberapa contoh mudah, misalnya kita minum air 20 liter sekaligus, pasti kita hampir mati, itulah yang disebut keracunan. Atau bubur ayam yang lezat dimakan lewat hidung/saluran napas, kita bisa mati tersedak. Atau oksigen yang sangat penting bagi kehidupan dimasukkan langsung lewat pembuluh darah.
 
Mungkin contoh-contoh di atas terlalu konyol, kita ambil contoh yang agak "wajar". Vitamin C yang terkandung dalam Redoxon, bila kita minum satu tablet setiap hari mungkin akan menyehatkan kita, tapi bila kita minum sekaligus satu botol, mungkin akan membuat mencret. Atau obat sakit kepala Sanmol, bila diminum langsung 20 biji, maka hati si pasien akan rusak keracunan. Sebaliknya racun serangga yang jelas-jelas beracun bila diminum hanya 0,001 mg mungkin belum akan menyebabkan orang dewasa keracunan.
 
Dari contoh-contoh diatas dapatlah dimengerti pernyataan Paracelsus bahwa semua zat adalah racun. Yang membuat suatu zat itu jadi obat atau jadi racun adalah dosis (jumlahnya) dan cara masuknya. Setiap orang memiliki variasi masing-masing tentang dosis maksimum suatu zat atau obat pada tubuhnya.

Ada zat yang batas maksimumnya lebar misalnya makanan, atau minuman, namun ada zat yang batas maksimum nya sangat kecil misalnya racun atau obat-obatan. Bahkan pada obat-obatan pun bervariasi, ada yang lebar misalnya vitamin, ada yang batasnya tipis sekali, misalnya obat-obat jantung. Hal inipun masih tergantung dari individu masing-masing. Ada orang yang tahan makan obat tertentu, sebaliknya ada orang yang tidak tahan terhadap obat yang sama tersebut.

Oleh karena itu percayakan pemberian obat-obatan pada dokter anda yang lebih mengetahui tentang hal ini. Semua obat yang diberikan oleh dokter telah dipertimbangkan untung dan ruginya, termasuk pemberian obat jangka lama pada kasus diabetes, darah tinggi, dan kasus-kasus kronis lainnya.

Kenapa Obat Generik Lebih Murah? Seringkali kita menolak diberi obat generik, karena harganya lebih murah sehingga mutunya dianggap lebih rendah. Betulkah? Semua obat yang beredar di Indonesia harus melalui uji klinis dan uji mutu oleh Departemen Kesehatan yang berulang dan berlapis. Jadi semua obat yang beredar resmi, baik generik maupun non-generic dijamin oleh Depkes kualitas dan keamanannya.

Ada ribuan jenis obat. Setiap jenis obat dapat diproduksi oleh puluhan bahkan ratusan perusahaan farmasi.   Perusahaan - perusahaan tersebut
membuat obat tertentu yang diberi merek (patent) masing-masing, padahal isi obatnya sama, bahkan dosisnya pun mungkin sama.

   Tentu saja mereka saling bersaing memperebutkan pasar pemakai. Beberapa cara yang dipakai antara lain adalah dengan memakai iklan dan kemasan yang lebih bagus serta mencolok. Tentu saja ini semua butuh tambahan biaya. Jadilah kita sebagai pemakai, selain harus memilih juga harus membeli dengan harga lebih mahal. Namun, seperti disebutkan tadi, sepanjang isi dan dosisnya sama, serta telah terdaftar di Depkes, kita tak perlu khawatir untuk memakainya.

Efek Obyektif dan Subyektif Obat


Semua obat memiliki dua macam efek. Yang pertama adalah efek obyektif dari kandungan zat aktifnya, yang kedua adalah efek subyektif dari selain zat aktif, misalnya dokter, kemasan atau bungkusnya, tingkat kepercayaan/keyakinan pasien (sugesti) dan lain-lain.
   Efek yang pertama jelas tertera di sampul obatnya, hal inilah yang dipelajari secara detail oleh para dokter. Efek yang kedua, sesuai dengan namanya, sangat subyektif tergantung persepsi atau sugesti pasien. Bila si pasien sudah sangat percaya, baik kepada dokter yang memberikannya maupun kepada kemasan obatnya yang terlihat bagus, maka efek terapinya bisa lebih baik. Demikian pula yang terjadi pada hal yang sebaliknya.
   Kedua efek ini saling mempengaruhi satu sama lain. Bisa saling membantu, atau bahkan saling meniadakan. Inilah sebabnya kenapa ada beberapa pasien yang sudah sangat fanatik dengan obat tertentu, ketika obat tersebut diganti dengan merek lain yang tampak berbeda, namun zat aktifnya sama, penyakitnya tidak sembuh. Tentu saja ini dengan asumsi penyakitnya sama. Contoh yang sering kita alami misalnya pada obat sakit kepala Mefinal, ketika obat tersebut diganti dengan Mectan, si pasien mengeluh bahwa nyeri kepalanya tidak sembuh. Padahal isi kedua obat tadi sama yaitu Asam Mefenamat. Hal yang sebaliknya pun dapat terjadi pada pasien lain.
   Oleh karena itu, sekali lagi, percayakan semua obat kepada dokter yang memberikannya dan yakinlah bahwa obat yang diberikan adalah yang terbaik dari pilihan yang ada. Tentu saja tanpa mengurangi keharusan bertanya kepada dokter tentang penyakit dan obatnya yang belum kita ketahui.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar